WartaPendidikan.co.id, Malang – Setelah peringatan Hari Disabilitas Internasional pada 3 Desember 2025 berlalu, perhatian kita kembali tertuju pada komitmen institusi pendidikan tinggi dalam mewujudkan kesempatan setara bagi semua. Pertanyaannya, benarkah partisipasi mahasiswa disabilitas sudah terwujud dalam berbagai aktivitas kampus? Atau, apakah kesetaraan yang digaungkan Universitas Brawijaya (UB) masih sekadar janji di atas kertas?

Kajian ini fokus pada konteks Universitas Brawijaya, mengingat isu inklusivitas melampaui sekadar keragaman. Isu ini menyentuh nilai-nilai keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pendidikan tinggi, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Tanggung jawab universitas adalah memastikan lingkungan yang benar-benar inklusif.

Komitmen Awal UB: Antara Fasilitas Fisik dan Realitas Non-Fisik

Universitas Brawijaya telah menunjukkan komitmen awalnya dengan membentuk Unit Layanan Disabilitas (ULD) pada tahun 2018. ULD ini berperan sebagai pusat koordinasi untuk akomodasi yang layak. Secara fisik, UB telah melakukan penyesuaian infrastruktur, seperti pemasangan bidang miring, guiding block, dan lift di berbagai lokasi kampus.

Namun, partisipasi penuh mahasiswa disabilitas memerlukan lebih dari sekadar akses fisik. Ini mencakup akses akademik, sosial, dan pengembangan diri.

Tantangan Partisipasi

Partisipasi mahasiswa disabilitas di UB masih menghadapi tantangan yang berasal dari aspek non-fisik:

  • Partisipasi Akademik: Akses lengkap ke materi ajar, metode penilaian yang fleksibel, dan sikap pengajar yang inklusif masih sangat bergantung pada inisiatif individu dosen, bukan standar institusi yang mengikat.
  • Akses Materi Ajar: Sebagian besar bahan ajar belum sepenuhnya tersedia dalam format yang ramah bagi semua mahasiswa (misalnya, format audiovisual yang aksesibel masih terbatas), sehingga mahasiswa disabilitas membutuhkan dukungan dan waktu tambahan untuk mengaksesnya secara optimal.
  • Metode Pembelajaran dan Penilaian: Metode seperti ujian tertulis dengan waktu terbatas atau tugas berbasis presentasi sering menjadi hambatan bila tidak disertai akomodasi yang sesuai (misalnya, penyesuaian waktu atau format evaluasi alternatif).
  • Partisipasi Non-Akademik: Keterlibatan dalam kegiatan organisasi, seminar, atau program pertukaran pelajar belum terakomodasi dengan baik akibat kurangnya kesadaran, jumlah tenaga pendampingan yang memadai, dan penerimaan sosial yang menyeluruh.
Baca juga :  43 Mahasiswa UNJA Terima Beasiswa Orang Tua Asuh dari Rumah Amal Assalam

Dinamika Kelompok dan Siklus Diskriminasi

Jika dikaji melalui kacamata dinamika kelompok, hambatan terbesar partisipasi penuh sering kali lahir dari aspek psikososial, yaitu:

  • Stereotip: Tahap ini dimulai dari adanya penerimaan keyakinan bahwa mahasiswa disabilitas adalah “tidak mampu” atau “di luar norma”. Stereotip ini sangat kuat sehingga segala pencapaian yang mereka miliki sering dianggap sebagai pengecualian, alih-alih sebagai refleksi murni dari kemampuan mereka.
  • ​Prasangka: Berdasarkan stereotip tersebut, muncullah prasangka, yaitu asumsi nilai rendah terhadap mahasiswa disabilitas. Contohnya, mereka mungkin diarahkan hanya untuk mengobservasi dari belakang atau tidak diberikan penugasan yang setara dalam kegiatan seperti program pertukaran pelajar, semata-mata atas dasar prasangka ketidakmampuan.
  • ​Diskriminasi: Prasangka ini kemudian bermuara pada tindakan nyata yang merugikan. Ini bisa berupa Diskriminasi aktif dari lingkungan sosial yang menghindari rekan disabilitas karena dianggap beban, atau mendiskreditkan pendapat dan kontribusi mereka dalam diskusi.

Siklus ini menciptakan lingkungan yang membuat mahasiswa disabilitas menjadi rentan dan menghambat mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan kampus.

Strategi Komprehensif Menuju Kampus Inklusif

Untuk mewujudkan partisipasi penuh, UB perlu menerapkan strategi komprehensif yang mencakup perubahan sistem, budaya, dan peningkatan kesadaran:

  • Penguatan Kebijakan Inklusi yang Mengikat:
  • Memastikan akomodasi yang layak menjadi standar operasional baku di seluruh fakultas, bukan inisiatif perorangan.
  • Mengintegrasikan penyediaan materi ajar dalam berbagai format aksesibel (misalnya, caption video, deskripsi audio) dan menerapkan Desain Pembelajaran Universal (Universal Design for Learning).
  • Peningkatan Kapasitas Sivitas Akademika:
  • Memberikan pelatihan berkala tentang metode ajar inklusif dan etika keberagaman kepada dosen, tenaga kependidikan, dan organisasi mahasiswa. Peningkatan kesadaran adalah kunci untuk meminimalisir stereotip dan prasangka.
  • Penguatan Unit Layanan Disabilitas (ULD):
  • Memperkuat ULD dengan sumber daya memadai (baik jumlah tenaga pendamping maupun kewenangan koordinatif).
  • ULD harus terlibat langsung dalam perencanaan kurikulum dan monitoring partisipasi mahasiswa disabilitas di seluruh kegiatan kampus.
  • Pembangunan Budaya Sosial Inklusif:
  • Mengadakan kampanye kesadaran dan kegiatan partisipatif.
  • Menerapkan sistem pelaporan digital diskriminasi yang mudah diakses dan responsif.
Baca juga :  UIN STS Jambi Gelar LSHRP XVII Regional Sumatra, Cetak Generasi Pramuka Tangguh dan Berkarakter

Inklusivitas sejati di Universitas Brawijaya hanya dapat terwujud melalui transformasi budaya kampus. Dengan membongkar hambatan non-fisik berupa stereotip dan prasangka, UB dapat memastikan bahwa keberagaman menjadi nilai yang hidup dan dihargai, bukan sekadar jargon, demi memastikan setiap mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi secara optimal.