WartaPendidikan.co.id, Yogyakarta – Universitas Gadjah Mada (UGM) menegaskan komitmennya sebagai kampus yang inklusif dan ramah bagi penyandang disabilitas. Komitmen ini diwujudkan melalui penerimaan mahasiswa dari berbagai latar belakang disabilitas serta pengembangan sistem pembelajaran yang adaptif dan mendukung kebutuhan mereka.

Dalam rangka memperingati Hari Kesadaran Autisme Sedunia, Unit Layanan Disabilitas (ULD) UGM menggelar sebuah sesi berbagi bertajuk “Refleksi Hidup, Pendidikan, dan Pengalaman Mahasiswa Autisme dalam Pendidikan Tinggi di UGM” pada Jumat (11/4) di kampus UGM. Tiga mahasiswa autistik membagikan kisah perjuangan mereka, yang diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi calon mahasiswa dengan kebutuhan khusus lainnya.

  1. Riani Wulan Sujarrivani: Ketekunan dalam Mengejar Impian

Riani Wulan Sujarrivani, mahasiswa S1 Ilmu Tanah angkatan 2024, berbagi kisahnya sebagai penyandang Autism Spectrum Disorder (ASD). Ia mengungkap bahwa stigma negatif yang sering dilekatkan pada penyandang autisme — seperti dianggap tidak mandiri atau kurang cerdas — sempat menjadi tantangan tersendiri. Namun, dukungan moral dan emosional dari keluarga serta guru membuatnya mampu berkembang.

“Saya sempat gagal dalam tiga jalur seleksi masuk UGM di tahun pertama. Tapi saya tidak menyerah, dan akhirnya berhasil diterima melalui jalur SNBT di tahun kedua,” tutur Riani.

Selama perkuliahan, Riani menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam menyelesaikan tugas tepat waktu dan beradaptasi di laboratorium. Meski sempat mengalami kendala dalam mengakses layanan pendukung, ia bersyukur mendapat dukungan dari fakultas dan ULD, seperti perpanjangan waktu tugas dan layanan penyesuaian akademik.

  1. Siham Hamda Zaula Mumtaza: Menemukan Dukungan yang Tepat

Siham, mahasiswa S1 Ilmu dan Industri Peternakan angkatan 2019 asal Bukittinggi, juga menyandang autisme serta mengalami gangguan kesehatan mental. Ia didiagnosis sejak sekolah dasar dan menjalani terapi sejak dini, meskipun pada awalnya keluarganya sempat menolak diagnosis tersebut.

Baca juga :  Unesa Berduka: Kepergian Mahasiswa Berprestasi Michael Ekklesia Tinggalkan Luka Mendalam

“Orang tua saya dulu tidak bisa menerima bahwa saya autistik. Mereka bilang saya normal, tidak ada yang salah,” ujar Siham.

Untuk memastikan proses perkuliahannya berjalan optimal, ULD melakukan asesmen setiap semester, menyusun pengaturan ulang dosen pengampu, serta memberikan informasi kepada asisten praktikum terkait kondisinya. Ia juga mendapatkan pendampingan belajar yang disesuaikan. Siham menekankan pentingnya asesmen berkelanjutan dan kepastian layanan inklusif agar mahasiswa dengan kebutuhan khusus bisa berkembang secara maksimal.

  1. Muhammad Rhaka Katresna: Autisme Bukan Hambatan, Tapi Perspektif Baru

Muhammad Rhaka Katresna, mahasiswa Magister Studi Agama dan Lintas Budaya di Sekolah Pascasarjana UGM, baru mendapatkan diagnosis autisme saat dewasa. Selama 27 tahun hidupnya, ia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari penolakan keluarga hingga kebingungan dalam sistem layanan kesehatan.

“Di Indonesia, diagnosis autisme dewasa sangat menantang. Sebagian besar tenaga ahli hanya fokus pada anak-anak,” jelas Rhaka.

Lulusan S1 Psikologi ini akhirnya menemukan ruang ekspresi dan pengembangan diri di program studi S2-nya, yang terbuka bagi mahasiswa autistik dan mendukung riset berbasis pengalaman pribadi. Di sana, Rhaka merasa diberdayakan untuk membangun epistemologi ilmu dari perspektif autistik.

“Di prodi ini, saya mendapat ruang untuk mengkritisi konstruksi ilmu, untuk berbicara dari pengalaman saya sendiri,” katanya.

UGM memberinya dukungan berupa tenggat waktu yang fleksibel, metode pembelajaran berbasis proyek, dan pendekatan yang disesuaikan. Rhaka, yang juga didiagnosis ADHD, menutup kisahnya dengan pesan yang kuat: “Saya bangga dengan diri saya. Kita harus berani mengambil ruang dan membangun suara sendiri. Mari kita bangga menjadi diri kita yang sebenarnya.” (Amelia)