WartaPendidikan.co.id, Jambi – RA, seorang siswi kelas XI di SMK N 1 Kota Jambi, telah lama menjalani kehidupan yang penuh kesulitan. Selama bertahun-tahun, ia bersama keluarganya tinggal di sebuah rumah panggung yang sudah reyot dan hampir roboh.
Gadis ini merupakan warga Pematang Sulur, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi. Rumah yang ia tempati saat ini bukanlah milik keluarganya, melainkan gubuk yang dipinjamkan oleh saudaranya. Di tempat sederhana itu, RA hidup bersama kedua orang tuanya serta dua adiknya yang masih kecil dan penuh rasa ingin tahu akan dunia di luar sana.
Kehidupan mereka dipenuhi keterbatasan ekonomi. Ayahnya bekerja sebagai juru parkir yang harus berjuang di bawah terik matahari. Penghasilan sehari-hari yang diperolehnya hanya sekitar Rp100 ribu, itupun jika sedang beruntung. Jumlah tersebut bahkan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti beras dan makanan bergizi. Sementara itu, ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
Situasi yang sulit ini semakin memburuk setelah ayah RA, yang berinisial E, ditetapkan sebagai tersangka oleh Satreskrim Polresta Jambi. Peristiwa ini mengguncang kehidupan mereka dan memberikan tekanan psikologis yang berat bagi seluruh anggota keluarga.
RA bukan hanya menghadapi permasalahan ekonomi dan keluarga, tetapi juga menjadi korban perundungan di sekolah. Sejak masih duduk di bangku SMP, ia mengalami intimidasi dari salah satu teman sekolahnya yang berinisial MS. Perilaku MS tidak hanya melukai mental dan emosional RA, tetapi juga menciptakan lingkungan sekolah yang tidak aman baginya.
“Penetapan tersangka ayah saya pada Selasa, 25 Februari 2025, membuat saya, ibu saya, adik-adik saya yang masih kelas 2 SD dan 1 tahun merasa frustasi. Ayah saya adalah seorang tukang parkir, ia tulang punggung keluarga kami,” ujar RA dengan suara bergetar sambil menangis.
Insiden yang memperparah keadaan terjadi pada Selasa, 13 Agustus 2024, sekitar pukul 13.30 WIB. Saat jam istirahat di sekolah, RA pergi ke toilet dan hendak kembali ke kelas. Namun, ketika ingin masuk, pintu kelas justru dikunci dari dalam.
Kejadian ini membuat RA panik dan ketakutan. Dalam kondisi menangis, ia segera menghubungi ayahnya melalui telepon. Di tengah rasa putus asa, ia menceritakan semua perlakuan buruk yang telah ia alami dari MS dan mengungkapkan bahwa dirinya tidak sanggup menghadapi situasi ini lebih lama lagi.
Mendengar keluhan putrinya, sang ayah segera datang ke sekolah. Setelah meminta izin kepada guru, ia bertanya siapa yang bernama MS. Beberapa kali ia mengulangi pertanyaan, hingga akhirnya MS mengangkat tangan sambil tertawa sinis, kemudian berlari keluar kelas tanpa menunjukkan rasa bersalah.
Alih-alih mendapatkan keadilan, tindakan ayah RA untuk melindungi putrinya justru berujung masalah baru. Orang tua MS malah melaporkan ayah RA ke Polresta Jambi atas dugaan kasus kekerasan terhadap anak.
RA kini merasa semakin tidak berdaya. Ia hanya bisa berharap ada keadilan bagi keluarganya. Dalam kondisi terpuruk, ia memohon pertolongan kepada Allah SWT dan berharap suara hatinya didengar oleh Presiden Prabowo Subianto, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, Gubernur Jambi Al Haris, serta Kapolda Jambi Irjen Pol Rusdi Hartono.
RA ingin agar mereka melihat ketidakadilan yang menimpa dirinya dan keluarganya. Ia berharap ada solusi agar penderitaan mereka tidak semakin berkepanjangan dan ayahnya bisa terbebas dari jeratan hukum yang menurutnya tidak adil. (*)
Leave a Reply