WartaPendidikan.co.id – Rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, untuk menghidupkan kembali sistem penjurusan di tingkat SMA mulai tahun ajaran 2025/2026 menuai kritik dari berbagai kalangan. Banyak pakar pendidikan menilai bahwa langkah tersebut menunjukkan belum adanya arah kebijakan pendidikan jangka panjang di Indonesia.

Abdul Mu’ti membantah bahwa kebijakan ini bermotif pribadi atau sebagai koreksi atas kebijakan pendahulunya, Nadiem Makarim. Ia menyebut penjurusan kembali bertujuan untuk menyelaraskan jenjang pendidikan dengan masa depan peserta didik. Namun, sejumlah pengamat menyayangkan kebijakan ini karena dinilai tidak berbasis pada riset dan terkesan terburu-buru.

Kritik terhadap Implementasi dan Infrastruktur

Ketua Federasi Serikat Guru Indonesia, Fahmi Hatib, menyebut kebijakan ini perlu dibarengi dengan perbaikan kualitas guru serta penyediaan sarana yang merata untuk semua jurusan. Ia menekankan pentingnya penghapusan dikotomi antara IPA, IPS, dan Bahasa, yang selama ini cenderung menempatkan IPA sebagai jurusan “unggulan”.

Senada dengan itu, Ryu seorang siswa kelas X SMA di Jakarta—menyampaikan harapannya agar fasilitas pembelajaran disediakan secara adil di semua jurusan. Ia juga menyarankan pengurangan pelajaran dalam Kurikulum Merdeka agar siswa dapat lebih fokus pada minat mereka.

Dampak Penghapusan dan Pengembalian Penjurusan

Kebijakan penjurusan sebelumnya telah dihapus oleh Nadiem Makarim lewat Kurikulum Merdeka pada 2021, yang mengedepankan pembelajaran lintas disiplin sesuai minat dan bakat siswa. Nadiem kala itu menyatakan bahwa sistem penjurusan memperkuat stigma sosial, khususnya anggapan bahwa IPA lebih bergengsi dibanding jurusan lainnya.

Kini, dengan rencana Abdul Mu’ti, sistem penjurusan akan dihidupkan kembali melalui peraturan menteri, yang otomatis akan membatalkan Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024. Siswa nantinya akan memilih jurusan sejak kelas XI dan mengikuti Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai bagian dari seleksi masuk perguruan tinggi jalur prestasi, dimulai pada November 2025.

Baca juga :  Pemerintah Luncurkan Kebijakan Pendidikan Baru: SPMB, TKA, Deep Learning, dan Pengenalan Coding serta AI Mulai Tahun Ajaran 2025/2026

Kritik terhadap Ketidakkonsistenan Kebijakan

Ubaid Matraji dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia menilai bahwa perubahan kebijakan yang cepat dan tidak konsisten mencerminkan absennya peta jalan pendidikan nasional. Ia menyoroti bahwa seharusnya setiap menteri melanjutkan program yang telah ditetapkan dalam peta jalan, seperti yang disusun oleh Bappenas untuk periode 2025–2045 dalam rangka mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Bappenas sendiri menekankan pentingnya peningkatan kualitas guru, akses pendidikan tinggi yang merata, serta pembelajaran berbasis STEAM. Namun, Ubaid menilai bahwa kebijakan terbaru justru tidak sejalan dengan arah peta jalan tersebut.

Suara dari Akademisi dan Praktisi Pendidikan

Totok Amin Soefijanto dari Universitas Paramadina mengibaratkan kebijakan pendidikan di Indonesia seperti orang yang tersesat karena tidak memiliki peta. Menurutnya, sistem penjurusan memang dulu dimaksudkan untuk mendukung pengembangan minat dan bakat, namun di era sekarang pendekatan tersebut dinilai terlalu sempit.

Ia menambahkan bahwa sistem penjurusan lama kerap menimbulkan favoritisme dan stereotip di kalangan siswa dan orang tua, di mana IPA dianggap lebih unggul. Kebijakan Kurikulum Merdeka sebenarnya mencoba mengatasi ini, tetapi tidak dibarengi dengan kesiapan tenaga pengajar.

Suara Siswa dan Imbas Kurikulum Merdeka

Ryu juga menyoroti bahwa pelajaran dalam Kurikulum Merdeka, seperti Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), terasa kurang menantang. Menurutnya, waktu pembelajaran terlalu banyak digunakan untuk kegiatan seperti membuat proyek kelompok, sehingga esensi belajar akademik menjadi hilang.

Ia berharap sistem penjurusan bisa membawa kembali fokus terhadap mata pelajaran utama sesuai minat siswa, serta meningkatkan suasana belajar yang lebih serius di kelas. (*)