WartaPendidikan.co.id, Jambi – Urgensi di Tengah Persaingan Global. Di era di mana literasi, numerasi, dan sains menjadi mata uang persaingan antarnegara, Indonesia masih berjuang di papan bawah skor PISA (Programme for International Student Assessment). Realitas ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya mampu mencetak talenta unggulan yang kompetitif secara internasional.
Menanggapi tantangan tersebut, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran meluncurkan Sekolah Garuda. Program ini diproyeksikan sebagai akselerator lahirnya ilmuwan dan inovator kelas dunia. Namun, sebuah pertanyaan besar muncul: Apakah program ini akan menjadi solusi global atau justru memperlebar jurang kualitas pendidikan di tanah air?
Konteks dan Latar Belakang
Kondisi pendidikan kita dalam dua dekade terakhir menunjukkan stagnasi yang mengkhawatirkan. Populasi siswa berprestasi tinggi (top performers) di Indonesia masih di bawah 1%. Ketimpangan pun sangat mencolok; skor antara sekolah di pusat kota dengan wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) bak bumi dan langit.
Di sisi lain, kebutuhan tenaga ahli untuk hilirisasi industri nasional sangat mendesak. Sekolah Garuda yang dimulai serentak pada 8 Oktober 2025 hadir melalui dua skema:
- Sekolah Garuda Transformasi: Menguatkan sekolah yang sudah ada.
- Sekolah Garuda Baru: Pembangunan infrastruktur pendidikan baru.
Perspektif Teoretis: Investasi Strategis
Secara teoritis, kebijakan ini sejalan dengan Human Capital Theory (Becker), yang melihat pendidikan sebagai investasi strategis untuk meningkatkan produktivitas negara. Sekolah Garuda diposisikan sebagai “inkubator” dalam ekonomi berbasis pengetahuan. Selain itu, konsep Centers of Excellence (Porter) menekankan bahwa konsentrasi sumber daya pada titik unggulan diharapkan dapat menciptakan efek sebar (spillover) ke sekolah-sekolah di sekitarnya.
Refleksi Masa Lalu dan Komparasi Global
Indonesia sebenarnya tidak asing dengan sekolah unggulan seperti SMA Taruna Nusantara atau MAN Insan Cendekia. Namun, sejarah mencatat bahwa tanpa subsidi berkelanjutan, sekolah-sekolah ini berisiko menjadi eksklusif dan hanya bisa diakses oleh kelompok ekonomi menengah ke atas.
Belajar dari dunia internasional:
- Singapura & Korea Selatan: Sukses karena negara menjaga kualitas guru agar tetap merata meski ada sekolah unggulan.
- Finlandia & Kanada: Fokus pada pemerataan standar kualitas di semua sekolah, meminimalkan elitisme.
- Inggris & Australia: Kompetisi pasar bebas antar-sekolah justru memperparah segregasi sosial.
Menuju Pendidikan yang Berkeadilan
Sekolah Garuda memiliki niatan mulia, namun ia harus dirancang sebagai instrumen keadilan sosial, bukan sekadar mengejar prestise internasional. Ada beberapa poin krusial yang harus dikawal:
- Afirmasi Kelompok Rentan: Memberikan akses nyata bagi siswa berbakat dari keluarga kurang mampu.
- Distribusi Guru: Memastikan guru berkualitas tidak hanya menumpuk di Sekolah Garuda.
- Transparansi Seleksi: Mekanisme seleksi harus jujur dan mempertimbangkan keberagaman latar belakang sosial.
- Karakter Bangsa: Lulusan tidak hanya unggul secara akademik, tapi juga memiliki akhlak mulia dan komitmen kebangsaan.
Penutup
Sekolah Garuda adalah langkah besar menuju Indonesia Emas 2045. Agar tetap berada pada jalurnya, keterlibatan publik dan akademisi sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menciptakan “menara gading” pendidikan, tetapi benar-benar memberikan dampak luas bagi seluruh ekosistem pendidikan di Indonesia.
Note: Penulis adalah Dosen Manajemen Pendidikan Islam UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.



Leave a Reply